
KUTUBUKUKARTUN-Pada 25 Februari lalu, tim liputan Kubuka mendatangi Ryan Adriandhy dalam acara EducationUSA Indonesia dengan tema #MyAmericaMyStory. Sebagai pelaku seniman yang mendapatkan beasiswa oleh kedutaan Amerika, beliau menjelaskan bagaimana perjalanannya agar bisa mendapatkan Fullbright Scholarship yang disponsori oleh EducationUSA.
Ryan Adriandhy yang mengawali karirnya sebagai komedian tunggal ini bisa dibilang menekuni karyanya dalam perjalanan independent. Perjalanan beliau dalam karya seni sudah terbilang cukup besar. Mulai dari ilustrator gaya kartun yang dia bagikan di internet, menekuni jalur animasi lewat beasiswa Amerika, sampai akhirnya membuat beberapa animasi pendek hingga menciptakan film animasi yang terbilang besar. Melihat kerja keras beliau yang sebelumnya ditekuni dalam dunia live-action rasanya nampak sulit. Tapi bagaimana sih cara agar Ryan Adriandhy dalam menempuh perjalanan karirnya hingga sesukses ini?
Perihal animasi independen baik di Indonesia maupun luar negeri, biasanya berapa sih estimasi budget untuk membuat animasi dalam skala semisal short film?
Ryan:
Untuk film independen, yang skalanya adalah film pendek, ya… Sebenarnya secara budgeting semua tergantung kepada style yang mau dilakukan seperti apa. Kalau misalnya yang mau dilakukan adalah animasi 3D, mungkin budgetnya akan lebih besar karena butuh beberapa skill seperti modelling, teksture, segala macam animasi, dan butuh proses rendering yang lebih lama. Tapi kalau 2D animation, bisa sedikit lebih ringan karena misalkan dari segi animating, coloring, dan lineart-nya itu bisa jadi dapat dikerjakan oleh satu orang.
Untuk estimasi budgetnya, kalau masih pada bingung, sebenarnya ga ada patokannya juga. Lebih kepada… untuk tahu budgetnya berapa itu adalah kalau bekerja sama dengan studio lain. Jadi mereka juga punya harga masing-masing, pastinya.
Di podcast-nya Mas Ryan sebelumnya menjelaskan yang menjadi tantangan terbesar untuk animasi Indonesia adalah render. Mas Ryan saat itu nge-tease bahwa Jumbo ini di-render di Cimahi, atau jangan-jangan… Kumata Studio?
Ryan:
Bukan, bukan. Kita ada tempat render namanya Metadigi. Metadigi ini punya satu render farm di mana ada banyak sekali komputer yang disewakan untuk rendering project-project, dan di saat itu kita merender Jumbo. Sebenarnya bukan hanya masalah rendering-nya aja, tapi juga banyak yang terjadi sebelumnya yang menurutku masih bisa ditingkatkan lagi di Indonesia. Tapi memang, salah satu yang jadi tantangan terbesarnya adalah mempunyai render farm atau tempat render yang sangat banyak.
Pas pertama kalinya kakak ke Annecy Animation Festival, sebenarnya acara tersebut tidak mention film Jumbo, tapi yang menjadi bahasan Mas Ryan di tweet itu adalah pemasarannya. Apalagi mempromosikan animasi di Annecy itu merupakan hal yang terbilang sulit walaupun itu hal yang disarankan Visinema.
Tanpa bermaksud mau bahas soal rahasia dagangnya, tapi rahasia diskusi apa dan tahap apa agar bisa mencapai seperti itu?
Ryan:
Jadi di Annecy Festival itu ada dua acara terpisah. Pertama adalah festival film, dimana kita bisa nonton banyak film dan bisa ikut berbagai sesi talkshow; tapi (yang kedua) ada yang namanya film market, di situ saya membawa Jumbo untuk bertemu dengan beberapa partner distribusi potensial. Di sana kita akhirnya berkenalan. Jadi memang sistemnya itu kita mencari partner distributor untuk film animasi Jumbo.
Waktu saya bilang di Twitter saya memasarkan, itu memang benar. Karena saya bawa deck, saya jelaskan projectnya seperti apa, saya jelaskan formatnya seperti apa, sejauh ini produksinya sudah seperti apa, dan itu yang akhirnya agen distributornya itu jadi tau ini mau dibawa ke mana dan si agennya distributor ini yang kemudian akan mencoba menjualkan ke berbagai negara.
Mas Ryan pernah menjelaskan soal Spider-Verse, bahwa yang menjadi titik mengapa mereka jenuh soal animasi adalah karena mereka sampai merender beberapa kali, menjadikan hal itu titik keras dan kesusahannya sebagai artist.
Jadi kalau ingin terjun ke dunia animasi, kita tidak bisa mengeksploitasi animator, ya kan? Apalagi untuk membuat projek animasi Jumbo bisa tetap berjalan sampai 5 tahun pasti tidak mudah. Menurut Mas Ryan, apa sih yang menjadi konsistensi Mas Ryan untuk bisa lancar dari awal sampai akhir?
Ryan:
Tentunya, riset itu sangat penting di depan. Jadi ketika kita udah tahu style untuk filmnya mau seperti apa, kemudian desain produksinya seperti apa, kalau kita udah melakukan banyak riset di depan, kita ga akan banyak menghabiskan waktu dan udah tahu tujuannya seperti apa. Nah, sisanya lebih kepada kolaborasi dan tahu bahwa ini akhirnya udah kebayang jadi seperti apa.
Apa sih yg mempengaruhi Mas Ryan dalam membentuk artstyle dari karya Mas Ryan?
Ryan:
Kalau kepada influence sendiri, saya suka animasi berbagai gaya. Saya ga membatasi kayak cuma suka kartun barat, atau cuma suka anime. Menurut saya, semua punya selera masing-masing, dan itulah indahnya animasi karena satu film dengan film yang lain bisa sangat berbeda. Misal ada Spider-Verse, Chicken for Linda, Lego The Movie, Flow, Wild Robot, The Mitchells vs The Machines, atau yang series seperti Bluey, atau Gumball yang style-nya lebih campuran lagi… Itu kan menunjukkan limitless-nya animasi. Kita bisa mengeksplorasi berbagai macam gaya, dan dalam gaya itu kita bisa jadi punya banyak ruang untuk mengeksplorasi tema, cerita, dan karakter.
Pertanyaan penutup, saya kan ada rencana membangun studio animasi bareng teman-teman saya, bagaimana caranya nge-pitch karya ke dalam studio animasi yang masih baru dibangun ini?
Ryan:
Tentunya kalau mau bikin studio, yang dipunya harus dua: Pertama, visi kreatifnya seperti apa, karya-karya yang mau keluar itu seperti apa, dan itu harus punya identitas. Misalnya, “saya akan bikin film yang ramah untuk keluarga”, atau “film ini akan banyak mengeksplor mitologi horor Indonesia”, seperti itu.
Kedua, harus punya business plan-nya. Untuk menjadi studio, fokusnya mau ke mana? Apakah akan membuat IP original, cerita original, atau menjadi service… misalnya untuk jadi studio yg mengerjakan IP orang, atau menjadi studio yang dipakai sama film-film luar negeri. Jadi kamu harus pilih business plan-nya, mau jadi kreator atau jadi service agent, gitu.
Kemudian kalau misalnya kamu mau menjadi kreator seperti yang saya bilang tadi, kamu harus punya rencana mau seperti apa IP-nya itu, ceritanya tentang apa, dan akan keluar dalam bentuk apa aja. Apakah jadi short film dulu, baru habis itu jadi seri sampai berapa season, lalu jadi film panjang layar lebar, jual merchandise, dan seterusnya.
Jadi dua hal itu yang perlu dipunyai dulu. Kalau kamu punya dua-duanya, ya bagus. Tapi misalnya kamu cuma punya visi kreatifnya, carilah orang yang bisa mikirin bisnis plan-nya. Atau kalau kamu justru yang lebih paham bisnis plan-nya, carilah orang yang bisa mikirin visi kreatifnya, gitu.
Ryan menempuh kuliah animasi jurusan MFA atau disingkat Master of Fine Arts di Rochester Institute of Technology New York, Amerika Serikat dengan alasan agar bisa meraih kesempatan masuk studio animasi besar seperti Disney atau Pixar. Namun dia menemukan jalannya di Indonesia karena dosen pembimbingnya menyarankan bahwa akan lebih baik kalau dia kembali ke tanah air untuk memajukan animasi Indonesia.